28.3.11

Membeo (Bukan Berkicau) di Twitter

Emosi adalah hadiah Tuhan untuk manusia sebagai sarana ekspresi. Manusia bisa marah, sedih, terharu, ataupun tertawa. Itu manusiawi. Bagaimana jika manusia dikendalikan emosi?

Aku sendiri termasuk orang yang emosional. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapanku, atau aku tidak senang perilaku seseorang, emosiku akan tersulut. Jika ada tipe orang yang secara blak-blakan menunjukkan emosinya, aku justru sebaliknya. Aku menyembunyikannya sebaik mungkin di depan orang yang membuatku kesal walaupun hati ini gondoknya bukan main.

Emosi ini ibarat gas. Ketika tekanannya meningkat, butuh tempat pembuangan agar tidak meledak. Aku sendiri (tidak dianjurkan) biasanya membuangnya ke Twitter dan teman-teman terdekat yang bisa dipercaya.


Saat itu aku merasa seluruh dunia harus tahu bahwa aku sedang bete. Kalau membuangnya kepada teman dekat, efeknya akan lebih parah lagi. Emosi itu menggelinding bagai bola salju. Kecaman meluncur dari mulutku. Kata-kata yang tidak enak keluar (yang akhirnya aku sesali sendiri dan membuatku bertanya-tanya kenapa aku bisa berkata seburuk itu mengenai orang lain).


Tahukah kamu, ketika kita melontarkan emosi kepada orang yang membuat kita tidak senang, kita bisa melukai hatinya dengan perkataan kita? Kata maaf bisa saja terucap dari mulut kita, tapi luka yang telah kita torehkan akan menimbulkan cacat di hati orang tersebut.

Tahukah kamu, kalau orang bisa menilai kita orang seperti apa melalui tulisan-tulisan ataupun status yang kamu tulis di FB, Twitter, atau BBM? Jika kita sering marah-marah lewat tulisan ataupun perilaku kita, orang akan menganggap kita sebagai orang pemarah.


Tahukah kamu, itu bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain, terutama bagi orang lain? Salah seorang teman dekatku pernah berkata padaku, “Lihat tuh kelakuan si A, sering aktif di kegiatan gereja, ikut choir, tetapi orangnya tetep suka marah-marah.” Temanku ini, orang Kristen, tetapi dia melihat bahwa tidak ada perbedaan pada sikap A. Meski A terlibat aktif di kegiatan gereja.


Kalau orang yang mengimani Yesus saja bisa berkata demikian, bagaimana lagi dengan pemikiran orang-orang di luar sana? Apakah mereka tidak akan berpikir, “Wah, orang Kristen ternyata begitu ya? “, atau, “Gayanya aja yang sok suci, tapi sama aja dengan yang lain.”


Jika begitu, nama Tuhan Yesus akan terbawa-bawa. Sebagai orang Kristen, kalau kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, kita akan melakukan perintahNya dan berusaha memuliakan namaNya lewat perbuatan kita. Apakah perilaku pemarah memuliakan nama Tuhan?

Emosi itu bukan sesuatu yang salah, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ini antara kita yang mengendalikan atau dikendalikan. Kunci dari semuanya itu tentu saja adalah penguasaan diri. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan. Seringkali ketika kita sedang dihimpit emosi, kita sebenarnya tahu apa yang harus kita lakukan untuk merespon dengan benar. Tetapi logika seringkali berkata: “Bagaimana dengan aku, aku, dan aku? Bagaimana dengan perasaanku? Enak aja aku harus berdiam diri. Bla, bla, bla...”


Aku sendiri sedang dalam proses pembelajaran. Salah satu cara mengendalikan emosi yang kubaca lewat buku adalah kita disarankan untuk menarik nafas dalam-dalam dan diam selama 10 detik. Cara ini sering kukombinasikan dengan mengingatkan diriku sendiri secara terus-menerus untuk bersabar dan meminta Tuhan untuk mengajari aku untuk merespon dengan benar. Voila! Cara itu berhasil ;)

Bagaimana dengan kamu?

NB: Sst... Ini senjata yang aku pakai kalau lagi emosi. Kamu boleh memakainya juga.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.”

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

No comments:

Post a Comment