28.3.11

Greatness in me and (you)

Apa yang anda pikirkan ketika anda melihat tokoh yang tercantum di alkitab? Sebut saja Musa, Yosua, Daud, Petrus, Paulus, dsb. Di dalam pikiranku sendiri langsung terbayang mereka adalah tokoh-tokoh besar, terkenal, hidup tanpa cela, dan memiliki sepak terjang yang luar biasa. Seringkali aku berandai-andai berada di posisi mereka, tetapi ketika aku melihat kondisiku sekarang, aku tidak yakin bisa sehebat mereka. Namun, benarkah demikian? Apakah hanya segelintir orang yang ditakdirkan untuk menjadi orang hebat? Benarkah hanya orang-orang terpilih yang bisa melakukan perkara besar? Bagaimana dengan sisanya? Apakah sisanya yang berjumlah besar itu ditakdirkan untuk menjadi orang yang biasa-biasa saja?

Ketika aku menelusuri kembali kisah tokoh-tokoh di alkitab, aku menyadari bahwa mereka sesungguhnya manusia biasa. Mereka tidak sempurna. Mereka ternyata masih melakukan kesalahan, bahkan mereka bisa takut!!! Lihatlah Musa, setelah membunuh, dia lari untuk menyelamatkan nyawanya. Yosua sendiri juga merasakan ketakutan ketika harus memimpin orang Israel menyebrangi sungai Yordan untuk menuju tanah perjanjian. Dia berada di bawah bayang-bayang Musa yang merupakan sosok besar. Daud sendiri juga dulunya hanya merupakan seorang bocah ingusan yang dipandang sebelah mata oleh keluarganya.

Nah, pertanyaannya: Jika mereka hanya manusia biasa biasa, apa yang membuat mereka berbeda? Mengapa mereka bisa memiliki nama besar?

Ketaatan. Kesetiaan. Kepercayaan.

Mereka melakukan apa yang Tuhan perintahkan sekalipun takut, sekalipun itu tidak mengenakkan buat mereka. Tidak ada manusia yang terlahir langsung menjadi orang besar, dan tidak diperlukan manusia yang sempurna untuk menjadi besar. Semuanya melalui proses. Ketika mereka setia dalam hal-hal kecil yang Tuhan berikan, maka Tuhan akan menambahkan perkara-perkara besar dalam hidup mereka. Tuhan sendiri berkata bahwa kita akan menjadi kepala dan bukan ekor, diatas dan bukan dibawah. Benih kebesaran ada didalam setiap diri kita, dan tergantung kitanya akan menumbuhkan benih itu atau tidak.

Jika saat ini posisi kita bukanlah siapa-siapa, jangan berkecil hati dan bersungut-sungut. Tetap lakukan bagian dan pekerjaan kita sebaik mungkin. Tuhan bisa mempromosikan kita bila kita percaya padaNya.

Membeo (Bukan Berkicau) di Twitter

Emosi adalah hadiah Tuhan untuk manusia sebagai sarana ekspresi. Manusia bisa marah, sedih, terharu, ataupun tertawa. Itu manusiawi. Bagaimana jika manusia dikendalikan emosi?

Aku sendiri termasuk orang yang emosional. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapanku, atau aku tidak senang perilaku seseorang, emosiku akan tersulut. Jika ada tipe orang yang secara blak-blakan menunjukkan emosinya, aku justru sebaliknya. Aku menyembunyikannya sebaik mungkin di depan orang yang membuatku kesal walaupun hati ini gondoknya bukan main.

Emosi ini ibarat gas. Ketika tekanannya meningkat, butuh tempat pembuangan agar tidak meledak. Aku sendiri (tidak dianjurkan) biasanya membuangnya ke Twitter dan teman-teman terdekat yang bisa dipercaya.


Saat itu aku merasa seluruh dunia harus tahu bahwa aku sedang bete. Kalau membuangnya kepada teman dekat, efeknya akan lebih parah lagi. Emosi itu menggelinding bagai bola salju. Kecaman meluncur dari mulutku. Kata-kata yang tidak enak keluar (yang akhirnya aku sesali sendiri dan membuatku bertanya-tanya kenapa aku bisa berkata seburuk itu mengenai orang lain).


Tahukah kamu, ketika kita melontarkan emosi kepada orang yang membuat kita tidak senang, kita bisa melukai hatinya dengan perkataan kita? Kata maaf bisa saja terucap dari mulut kita, tapi luka yang telah kita torehkan akan menimbulkan cacat di hati orang tersebut.

Tahukah kamu, kalau orang bisa menilai kita orang seperti apa melalui tulisan-tulisan ataupun status yang kamu tulis di FB, Twitter, atau BBM? Jika kita sering marah-marah lewat tulisan ataupun perilaku kita, orang akan menganggap kita sebagai orang pemarah.


Tahukah kamu, itu bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain, terutama bagi orang lain? Salah seorang teman dekatku pernah berkata padaku, “Lihat tuh kelakuan si A, sering aktif di kegiatan gereja, ikut choir, tetapi orangnya tetep suka marah-marah.” Temanku ini, orang Kristen, tetapi dia melihat bahwa tidak ada perbedaan pada sikap A. Meski A terlibat aktif di kegiatan gereja.


Kalau orang yang mengimani Yesus saja bisa berkata demikian, bagaimana lagi dengan pemikiran orang-orang di luar sana? Apakah mereka tidak akan berpikir, “Wah, orang Kristen ternyata begitu ya? “, atau, “Gayanya aja yang sok suci, tapi sama aja dengan yang lain.”


Jika begitu, nama Tuhan Yesus akan terbawa-bawa. Sebagai orang Kristen, kalau kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, kita akan melakukan perintahNya dan berusaha memuliakan namaNya lewat perbuatan kita. Apakah perilaku pemarah memuliakan nama Tuhan?

Emosi itu bukan sesuatu yang salah, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ini antara kita yang mengendalikan atau dikendalikan. Kunci dari semuanya itu tentu saja adalah penguasaan diri. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan. Seringkali ketika kita sedang dihimpit emosi, kita sebenarnya tahu apa yang harus kita lakukan untuk merespon dengan benar. Tetapi logika seringkali berkata: “Bagaimana dengan aku, aku, dan aku? Bagaimana dengan perasaanku? Enak aja aku harus berdiam diri. Bla, bla, bla...”


Aku sendiri sedang dalam proses pembelajaran. Salah satu cara mengendalikan emosi yang kubaca lewat buku adalah kita disarankan untuk menarik nafas dalam-dalam dan diam selama 10 detik. Cara ini sering kukombinasikan dengan mengingatkan diriku sendiri secara terus-menerus untuk bersabar dan meminta Tuhan untuk mengajari aku untuk merespon dengan benar. Voila! Cara itu berhasil ;)

Bagaimana dengan kamu?

NB: Sst... Ini senjata yang aku pakai kalau lagi emosi. Kamu boleh memakainya juga.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.”

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

Kisah sang putri (part 2)

Putri itu merapikan rambutnya, mengamati sekali lagi penampilannya di cermin dan tersenyum puas. Hari ini adalah hari perayaan yang dinanti-nantikannya. Namun sedikit keraguan terbersit di hatinya. "Aku akan baik-baik saja. Aku bisa melaluinya" gumamnya.

Jegrek! Pintu gerbang dibuka. Sang putri melangkahkan kakinya keluar dengan senyum mengembang dibibirnya. Sebuah payung tersandar di pundaknya. Cuaca yang bersahabat, katanya dalam hati. Aku percaya hari ini akan menjadi hari yang baik.

Jalanan tampak ramai. Orang-orang berlalu lalang mengenakan pakaian berwarna cerah dan kebahagiaan terukir diwajah mereka. Ya, hari ini adalah perayaan kemerdekaan. Kemerdekaan dari penjajahan yang didalangi oleh seorang raja yang sangat kejam. Jangan tanya kejamnya seperti apa. Tidak ada orang yang mau mengingatnya.

Wajah sang putri tampak riang. Dia memandang sekelilingnya dengan bersemangat. Di kiri kanan jalan tampak berbagai penjual menjajakan barang dagangannya. Ada perhiasan, pakaian, binatang, dan heiii...ada gulali kapas!

Sang putri menghampiri si penjual dan memutuskan untuk membeli satu. Dia baru membuka mulutnya untuk menikmati gulali kapas tersebut ketika ada sekelompok anak kecil yang mengenakan topeng berlari dan tidak sengaja menyenggolnya.

Sang putri hanya tersenyum kecil. Matanya mengawasi langkah anak-anak itu dan tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesuatu. Tanpa sadar, jari-jarinya mencengkram gagang payungnya lebih erat. Mukanya memucat dan gulali di tangannya terjatuh. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, tampak seseorang yang dikenalnya. SANG MANTAN RAJA!

Sang putri langsung membalikkan badannya. Apa yang tidak diharapkannya ternyata terjadi. Dia sudah memperkirakan ini sebelumnya. Dia menyangka dia mampu menghadapinya, namun hatinya ternyata
tidak mau diajak bekerjasama.

Tenangkan dirimu, batinnya. Jangan menoleh. Dia tidak menyadari kamu ada disini.

Sementara itu suara dan tawa sang mantan raja makin mendekat, mendekat....

Sang putri menahan nafasnya. Waktu seolah berjalan melambat.

Satu...dua...tiga...Wushh..!!!

Suara itu melewati punggungnya, perlahan menjauh sebelum akhirnya menghilang. Sang putri menghela nafas lega. Kebimbangan kembali merambat di hatinya.

'Kamu harus segera pulang'. Suara hati mengingatkan.

'Tunggu dulu! Apa kamu yakin? Kamu sudah lama tidak bertemu dengannya'. Suara lain muncul dari dalam pikirannya.

'Putri, ingat janji dan keputusanmu dulu'.

'Kamu tidak melanggar janjimu kok, kamu hanya akan mengamati dia sebentar saja. Kamu tidak akan menyapanya ataupun mengundangnya masuk kembali. Hanya me-li-hat. Kamu dikarunia mata untuk melihat putri'.

'Jangan dengarkan dia'.

'Ayolah, sebentarrrr...... saja. Kamu tidak akan menyesal'.

'Putri...putri...jangan...!!!'
Suara hati semakin mengecil dan akhirnya menghilang.

Suara pikiran berbisik kembali. 'Jangan ragu. Tidak ada orang lain yang tahu. Ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua selama kamu tidak bercerita ke yang lain'.

Sang putri mengangguk pelan. Tidak ada yang salah, tidak ada yang salah...semua akan baik-baik saja...

Sang putri berjalan perlahan melewati kerumunan mencari sosok sang mantan raja. Langkahnya agak tergesa-gesa. Gaunnya yang panjang bergesekan dengan jalan sepanjang dia berjalan.

Dia tidak perduli apakah gaunnya yang berwarna putih akan kotor ataupun robek diinjak orang. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Dia tidak ingin menyesal, atau...justru dia akan menyesal setelah ini? Dia tidak perduli. Dia tidak mau memikirkannya. Apapun yang terjadi, itu urusan belakangan.

Akhirnya sang putri menemukan sosok yang dicarinya. Sang mantan raja! Tanpa sadar wajah sang putri merona. Hatinya diliputi kebahagiaan. Jantungnya berdegup cepat, apalagi ketika dia melihat sang mantan raja mengenakan pakaian yang sama dimana mereka bertemu terakhir kalinya.

Sang mantan raja tampak asik berbicara dengan seseorang, tidak menyadari bahwa sang putri mengamatinya dari jauh. Sang putri melongok ke kiri dan kanan, berusaha melihat dengan siapa sang mantan raja berbicara.

Ketika sang putri berhasil melihatnya, senyum di wajahnya langsung lenyap. Suatu perasaan aneh membanjiri dirinya. Suatu perasaan tidak suka dan tidak rela...

Seorang gadis cantik dalam gaun menarik sedang berbicara dengan sang mantan raja. Gadis itu sesekali tertawa, menunjukkan lesung pipinya dan deretan giginya yang berwarna putih, sedangkan sang mantan raja juga terkadang tertawa.

Siapa gadis itu? Aku belum pernah melihatnya. Apakah dia kekasih barunya? Jangan-jangan gadis yang sedang ditaksirnya?

Sang putri menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa kecewa dan cemburu yang melanda hatinya. Sang putri mengamati gadis tersebut, membandingkan dirinya dengan gadis itu. Membandingkan apa yang dia miliki dan tidak miliki dari gadis itu.

"Permisi nona, jangan menghalangi jalan".

Tiba-tiba seseorang dari belakang mendorongnya ke samping. Sang putri sempat terhuyung namun tetap bisa menjaga keseimbangannya. Kejadian sesaat itu ternyata menarik perhatian sang mantan raja.

Mata sang putri membelalak ngeri ketika kepala sang mantan raja menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Waktu membeku. Sang mantan raja menatapnya dengan tatapan yang tidak dimengerti sang putri. Tatapan yang tajam. Tatapan yang menembus langsung ke relung hatinya, menghangatkan kembali sel-sel hatinya yang telah membeku, mendobrak-dobrak pintu keramat tempat sang putri menyimpan permatanya yang paling berharga. Alarm peringatan berbunyi keras dikepalanya. Sang putri segera tersadar.

Sementara itu, sang mantan raja mengucapkan sesuatu kepada gadis disebelahnya, kemudian bergerak ke arahnya. Sang putri tahu dia harus membuat keputusan sekarang. Melangkah maju atau mundur. Hatinya tidak siap. Tanpa sadar dia melangkah
mundur, mundur...dan ketika sang mantan raja mempercepat langkahnya, sang putri membalikkan badannya, berlari kecil menerobos kerumunan orang disekitarnya.

25.2.11

Kisah sang putri (part 1)

Gerbang itu tertutup rapat, berpalang besar dengan paku-paku yang menancap diatasnya. Seolah tak cukup, ada rantai besi dan gembok yang melingkupinya. Di pintu gerbang tertoreh tinta berwarna hitam bertuliskan 'DILARANG MASUK'.

Seseorang tampak berdiri bingung didepan pintu gerbang itu. Dahulu dia tinggal dan sempat bertahta di dalam istana dibalik gerbang itu. Dia dikasihi dan mendapat pelayanan istimewa. Apapun perkataan dan keputusannya, selalu dianggap bijaksana.

Namun suatu ketika di waktu fajar, semuanya mendadak lenyap. Dia terbangun dan menemukan dirinya terhampar di jalanan, persis didepan pintu gerbang. Pakaian kebesaran tidak menempel lagi dipundaknya. Sekarang dia tampak tak ada bedanya dengan penduduk biasa.

Sang mantan raja menggedor keras-keras gerbang itu. Dia mencoba melepaskan rantai besi dan gembok yang tergantung disana. Dia memanggil ahli kunci, yang berakhir dengan kesia-siaan. Ahli kunci berkata gembok itu dibuat khusus, tidak bisa dibuka dengan apapun kecuali oleh si pemilik kunci asli.

Sang mantan raja tidak menyerah. Dia kembali menggedor-gedor gerbang itu. Dia bertekad tidak akan pergi sebelum mendapat penjelasan. Tangannya perlahan memerah, dan darah mulai mengucur dari buku jari tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu

"Menyerahlah. Tinggalkan tempat ini".

"Tidak bisa! Ini adalah kediamanku!" balas sang mantan raja.

"Memang, tetapi itu dahulu. Carilah tempat lain".

"Mengapa? Mengapa kau mengusirku? Bukankah kau yang dahulu mengundangku masuk?"

Suasana hening sesaat.

"Maafkan aku. Ini semua salahku. Karena keegoisanku. Aku merasa...kau bukan orang yang tepat".

"Come on! Setelah semua yang kita lalui bersama, bagaimana mungkin kau mencampakkanku begitu saja? Ingatlah saat-saat itu".

"Aku...tidak bisa. Aku telah memikirkan masak-masak semuanya ini. Demi kebaikanku, dan demi kebaikanmu juga. Pergilah, aku merelakanmu. Aku percaya ada tempat lain yang lebih baik untukmu diluar sana".

"Tapi, bagaimana denganmu?"

"Tidak usah pikirkan diriku. Aku sendiri yang membuat keputusan ini. Aku akan menunggu, menunggu sampai orang yang tepat datang menggantikan dirimu".

"Kamu yakin orang itu ada? Aku masih berdiri disini untukmu".

"Aku... memilih untuk percaya. Sekarang pergilah".


Sang mantan raja menundukkan kepala dan membalikkan badannya. Satu langkah, dua langkah...dia membalikkan badannya kembali, menoleh ke arah pintu gerbang, berharap tiba-tiba gerbang itu terbuka dan dia dipersilahkan masuk kembali. Tapi gerbang itu tetap tertutup.

Sang mantan raja melanjutkan perjalanannya, mengembara ke tempat lain, mencari tempat dimana dia akan dipersilahkan masuk. Sebuah ikrar terukir dihatinya:

"Aku akan datang kapanpun dia memintaku untuk kembali. Aku akan selalu ada untuknya".

20.2.11

Matahari sore

Senja menjelang. Matahari hampir selesai bekerja. Dia mengepak-ngepakkan barangnya, mempersiapkan ruang untuk bulan yang akan menggantikannya. Cahaya matahari begitu lembut saat ini. Warna oranye berpendar disepanjang lorong apartemen. Tiba-tiba muncul siluet seorang perempuan. Tampak tinggi dan sebelah tangannya memegang sesuatu. Sesaat kukira dia akan menghampiri sang matahari. Tuk, tuk, tuk. Namun beberapa langkah sebelum mencapai matahari, perempuan itu berbelok ke kiri, membuka suatu pintu, melemparkan barang ditangannya kedalam sana sambil mengernyit jijik. Aroma yang menusuk membanjiri hidungnya. Dengan segera perempuan itu menutup pintu yang bertuliskan 'Ruang sampah'. Perempuan itu melangkahkan kakinya kembali menuju arah darimana dia berasal. Sinar matahari yang memanggilnya tidak dihiraukannya.

9.2.11

Matahari dan bulan

Aku ingin menjadi matahari,
Besar, kuat, dan memancarkan kehangatan
Memberi keceriaan bagi orang-orang yang melihatnya

Aku ingin menjadi bulan,
Bersinar diantara gelapnya malam
Memancarkan kelembutan bagi mereka yang dirudung duka

Namun sama seperti matahari dan bulan,
Aku tidaklah sempurna
Terkadang kemilauku tertutup oleh sang gerhana

30.1.11

Kerikil-kerikil

Terkadang hidup tidak berjalan sesuai yang aku inginkan. Aku telah menyusun rencana-rencana dihari sebelumnya, eh, tiba-tiba salah satu rencana tersebut tidak jadi terlaksana. Suasana hati menjadi sedikit terganggu, dan kekecewaan perlahan menyusup. Setelah itu terlebih mudah memang untuk memanjakan diri sendiri, memperbaiki suasana hati dengan sikap semau gue. Ada kalanya aku bersikap seperti itu, meneguk minuman manis untuk mengobati rasa didalam hati. Kamu dapat menyebutku lari dari masalah, ya karena memang begitu kenyataannya. Namun dipagi hari ini aku mau melakukan hal sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan bongkahan batu itu menghambat langkahku. Masih ada rencana-rencana lain yang mesti kulakukan. Yang kuperlukan saat ini adalah hati yang besar, dan juga belajar untuk tidak membuat rancangan sendiri, melainkan menyerahkannya kepada Tuhan. Ada perkataan begini toh: 'Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan'. Semangat!